Kaki-kaki kami terus berjalan melintasi jalan setapak di tengah lebatnya
kebun kelapa. Seratus meter, dua ratus meter, lima ratus meter
terlewati, hingga satu kilometer lebih akhirnya bangunan sekolah dasar
itu terlihat dari kejauhan. Berpagar kayu, serta bentuk pintu gerbang
amat sederhana, mengingatkan pagar keliling bangunan SD di film Laskar
Pelangi. Bedanya, bangunan dan cat SD Negeri Tondongito ini sepertinya
relatif masih baru, walau beberapa bagian atap seng terlihat
bolong-bolong keropos akibat pengaruh laut.
Inilah rata-rata wajah bangunan sekolah di Pulau Wawonii. Sebuah pulau
di bagian timur Sulawesi Tenggara yang berbatasan langsung dengan
luasnya Laut Banda. Desa Tondongito sendiri adalah salah satu desa di
Kecamatan Wawonii Tenggara, satu dari tujuh kecamatan di Pulau Wawonii
yang masuk dalam adminsitrasi pemerintahan Kabupaten Konawe.
Wawonii Tenggara boleh dikatakan terbilang tertinggal dibanding daerah
lain. Laut adalah satu-satunya akses termudah untuk mencapai daerah ini.
Perahu kayu atau warga setempat menyebutnya katinting, adalah alat
transportasi yang menghubungkan antar desa. Untungnya di setiap desa
sudah ada minimal satu sekolah dasar, sehingga anak-anak desa tidak
perlu menyeberang laut untuk sekolah. SMP pun rata-rata ada satu di desa
yang berbatasan darat sehingga bisa dipakai bersama.
“Selepas SMP biasanya yang mau melanjutkan pilih di Kendari karena walau
ada SMA di kecamatan sebelah, tapi ongkos sewa perahu lebih mahal
daripada ongkos kapal ke Kendari,” tutur Pak Tajudin, Kepala Desa Polara
di Wawonii Tenggara.
Ya, biaya sewa perahu motor ke Desa Munse di Kecamatan Wawonii Timur
yang jaraknya hanya beberapa kilometer bisa mencapai seratus ribu
rupiah, sementara biaya kapal laut ke Kendari yang memakan waktu kurang
lebih 3,5 jam hanya lima puluh ribu rupiah. Di Kendari mereka biasa kos
atau ikut dengan sanak saudara.
Perjalanan menyusuri Wawonii, dengan menyaksikan sendiri bagaimana
kondisi pendidikan anak-anak di sana, membuat saya menyadari bahwa saya
telah diberi nikmat Yang Maha Kuasa yang luar biasa berupa kemudahan
menempuh jenjang sekolah hingga lulus kuliah. Namun, melihat keriangan
anak-anak di sana yang terlihat sangat akrab dengan alam, terutama
lautan, membuat saya sedikit iri bahwa mereka nyatanya tak terbebani
dengan rutinitas sekolah, yang di kota-kota besar seolah kian menggerus
waktu bermain yang positif.
Anak-anak kecil itu sudah begitu fasih mendayung perahu, di tengah
gempuran ombak lautan lepas. Mereka juga tak takut berenang dan terjun
dari ketinggian, entah pohon atau lereng, untuk terjun ke laut. Alam
seolah menjadi guru sejati mereka, saat teman-teman sebaya mereka di
perkotaan mungkin tengah berkutat dengan les, kursus dan sejenisnya.
Keadaan sekolah mereka juga sangat timpang bila menyebut berbagai
fasilitas pendukung macam laboratorium hingga peralatan komputer. Bahkan
listrik yang mengalir di Wawonii Tenggara pun hanya mengandalkan panel
tenaga surya maupun tenaga air yang hanya sanggup mengalirkan jumlah
watt yang terbatas.
Ada sedikit trenyuh juga saat saya mengintip ke bangunan SD Tondongito
itu. Saat itu anak-anak siswa sedang libur, namun seperti ditunjukkan
kepala desa setempat, bangunan SD tidaklah terkunci, kecuali ruangan
kantor guru. Maka saya bisa mendapati pemandangan yang memilukan saat
melihat hanya satu kelas yang bangkunya berjejer rapi dari tiga ruangan
kelas yang ada.
Kesunyian merayapi bangunan tersebut, sehingga hanya terdengar suara
debur ombak Laut Banda dan angin yang menerpa pohon-pohon kelapa. Saya
memandangi atap seng yang bolong-bolong dan teringat perbincangan dengan
salah satu guru SMP di kecamatan tersebut.
“Bangunan termasuk atap sekolah di sini adalah bantuan pemerintah,
herannya kenapa kami dikasih atap seng bukan asbes padahal tempat ini
dekat laut,” tuturnya.
Memang seng bisa cepat keropos akibat garam air laut. Inilah yang
disebut bantuan atau pembangunan tidak tepat sasaran. Bangunan baru bisa
dengan mudah rusak dalam beberapa bulan karena tidak mengerti kondisi
iklim sesungguhnya di lapangan.
“Kami sudah berupaya dengan berbagai jalan untuk memohon bantuan yang
benar-benar bisa bermanfaat, tapi ya…” sebutnya tanpa menyelesaikan
kalimat, hanya senyum kecil.
Salut, satu kata ini saya sematkan pada guru-guru yang mau berjuang di
daerah terpencil seperti itu. Bagi mereka pendapatan mungkin hal
kesekian, karena biasanya mereka juga bekerja di kebun. Namun, satu hal
pasti, meningkatkan kualitas pendidikan untuk anak-anak pesisir itu
adalah tujuan terpenting. Sekian dan selamat hari pendidikan nasional.
wahh., sangat mengerikan sekali nasib sekolah terpencil
BalasHapus